Jumat, 18 Maret 2016

SEJARAH GEOLOGI


Pendahuluan
Menurut ajaran agama apapun, dinyatakan bahwa alam semesta termasuk bumi seisinya diciptakan oleh Tuhan atas kuasa Nya. Namun demikian juga ternyata bahwa pada semua ciptaan Nya itu Tuhan juga menciptakan atau menyediakan hukum-hukum alam dari yang sangat sederhana sampai yang sangat komplek. Sementara itu manusia yang oleh Tuhan dibekali dengan akal (rasio) secara sangat lamban dan berangsur-angsur berhasil mengungkapkan rahasia hukum-hukum alam, yang sebagian direkayasa untuk kepentingan atau mendukung kehidupan manusia agar menjadi lebih nyaman dan sejahtera. Dalam hubungannya dengan hal ini, disamping ingin mengetahui sejarah dirinya sendiri, manusia juga ingin mengetahui sejarah alam semesta, yang salah satunya adalah sejarah geologi.
Dari hasil penelitiannya melalui pengumpulan bukti-bukti peninggalan masa lalu, dan dengan analisa secara kritis dan ilmiah, secara perlahan-lahan manusia mulai berhasil membuka rahasia sejarah bumi, yang untuk sebagian bertolak belakang dengan yang diterangkan dalam agama (Kristen). Namun demikian hal itu bukan berarti semua apa yang diajarkan oleh agama mengenai sejarah (penciptaan) bumi dan alam semesta itu salah, akan tetapi barangkali perlu pemahaman baru (reinterpretasi) mengenai berbagai hal yang bersifat material dan yang secara perlahan-lahan bisa dipehami secara rasional.
Demikianlah menurut sejarah geologi bahwa bumi seisinya tercipta melalui jalan evolusi milyaran tahun lamanya dari yang sangat sederhana (primitif atau purba) menjadi seperti yang disaksikan manusia sekarang ini. Bahkan dengan menggunakan tehnologi, manusia bisa mendeteksi dan akhirnya memanfaatkan benda-benda mineral hasil evolusi untuk kepentingan umat manusia sepeti minyak, gas, batubara dan sebagainya. Di Indonesia penelitian mengenai sejarah bumi telah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda, dengan berbagai penemuan fosil-fosil bebatuan, tanah, tumbuh-tumbuhan, binatan dan juga manusia yang disimpan di bebagai museum.

Sejarah Bumi
Para ahli geologi mempunyai hipotesa bahwa bumi kita telah terbentuk sekitar sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu bersamaan dengan planet-planet lain yang membentuk tatasurya dengan matahari sebagai pusatnya. Menurut teori kabut (Nebula) pembentukan sistem tata surya itu berlangsung dalam tiga tahap:
a. Matahari dan planet-planet lainnya masih berbentuk gas, kabut yang begitu pekat dan besar
b. Kabut tersebut berputar dan berpilin dengan kuat, dimana pemadatan terjadi di pusat lingkaran yang kemudian membentuk matahari. Pada saat yang bersamaan materi lainpun terbentuk menjadi massa yang lebih kecil dari matahari yang disebut sebagai planet, bergerak mengelilingi matahari.
c. Materi-materi tersebut tumbuh makin besar dan terus melakukan gerakan secara teratur mengelilingi matahari dalam satu orbit yang tetap dan membentuk Susunan Keluarga Matahari
Sementara itu sejarah kehidupan di bumi baru dengan berbagai makhluk hidupnya diperkirakan terjadi pada 3.500.000.000 tahun lalu dengan munculnya micro-organisma sederhana yaitu bakteri dan ganggang. Kemudian pada 1.000.000.000 tahun lalu baru muncul organisme bersel banyak. Baru pada sekitar 540.000.000 tahun yang lalu kehidupan di bumi yang semakin komplek secara bertahap mulai berevousi. Perkembangan tumbuhan diawali oleh Pteridofita (tumbuhan paku), Gimnosperma (tumbuhan berujung) dan terakhir Angiosperma (tumbuhan berbunga). Sedangkan perkembangan hewan dimulai dari invertebrata, ikan, amfibia, reptilia, burung dan terakhir mamalia, kemudian terakhir kali muncul manusia.
Mengenai sejarah perkembangan planet bumi kita ini, oleh para ahli sejarah dibagi menjadi 13 zaman secara berurutan yaitu sebagai berikut:

1. Zaman Arkeozoikum (4,5 – 2,5 milyar tahun)
Arkeozoikum zaman kehidupan purba, dan merupakan masa awal pembentukan batuan kerak bumi yang kemudian berkembang menjadi protokontinen. Batuan masa ini ditemukan di beberapa bagian dunia yang lazim disebut kraton/perisai benua. Batuan tertua tercatat berumur kira-kira 3.800.000.000 tahun. Masa ini juga merupakan awal terbentuknya Indrorfer dan Atmosfer serta awal muncul kehidupan primitif di dalam samudera berupa mikro-organisma (bakteri dan ganggang). Fosil tertua yang telah ditemukan adalah fosil Stromatolit dan Cyanobacteria dengan umur kira-kira 3.500.000.000 tahun

2. Zaman Proterozoikum (2,5 milyar - 290 juta tahun lalu)
Zaman Proterozoikum bisa diartikan sebagai masa kehidupan awal merupakan awal terbentuknya hidrosfer dan atmosfer. Pada zaman ini kehidupan mulai berkembang dari organisme bersel tunggal menjadi bersel banyak (enkaryotes dan prokaryotes). Bahkan pada menjelang masa akhir zaman ini telah telah berkembang organisme lebih kompleks, jenis invertebrata bertubuh lunak seperti ubur-ubur, cacing dan koral mulai muncul di laut-laut dangkal, yang bukti-buktinya dijumpai sebagai fosil sejati pertama.
3. Zaman Kambrium (590-500 juta tahun lalu)
Kambrium berasal dari kata “Cambria” nama latin untuk daerah Wales, dimana batuan berumur kambrium pertama kali ditemukan dan dipelajari. Pada zaman ini sudah banyak bermunculan hewaninvertebrata yang hidup di lautan. Hewan-hewan zaman ini juga sudah mempunyai kerangka luar dan cangkang sebagai pelindung. Beberapa jenis fosil yang telah ditemukan adalah, Alga, Cacing, Sepon, Koral, Moluska, Ekinodermata, Brakiopoda dan Artropoda (Trilobit)
Sebuah daratan yang disebut Gondwana (benua kuna) merupakan cikal bakal Antartika, Afrika, India, Australia, sebagian Asia dan Amerika Selatan. Sedangkan Eropa, Amerika Utara, dan Tanah Hijau masih berupa benua-benua kecil yang terpisah.

4. Zaman Ordovisium (500 - 440 juta tahun lalu)
Ciri kehidupan yang muncul pada Zaman Ordovisium ikan tanpa rahang (hewan bertulang belakang paling tua) dan beberapa hewan bertulang belakang yang muncul pertama kali seperti Tetrakoral, Graptolit, Ekinoid (Landak Laut), Asteroid (Bintang Laut), Krinoid (Lili Laut) dan Bryozona.
Meluapnya Samudra dari Zaman Es merupakan bagian peristiwa dari zaman ini. Gondwana dan benua-benua lainnya mulai menutup celah samudera yang berada di antaranya

5. Zaman Silur (440 - 410 juta tahun lalu)
Zaman silur merupakan masa transisi kemunculan kehidupan dari air ke darat. Tumbuhan darat yang pertama kali muncul terutama adalah Pteridofita (tumbuhan paku), sedangkan Kalajengking raksasa (Eurypterid) hidup berburu di dalam laut. Ikan berahang mulai muncul pada zaman ini dan banyak ikan mempunyai perisai tulang sebagai pelindung. Selama zaman Silur, deretan pegunungan mulai terbentuk melintasi Skandinavia, Skotlandia dan Pantai Amerika Utara

6. Zaman Devon (410-360 juta tahun lalu)
Zaman Devon merupakan zaman perkembangan besar-besaran jenis ikan dan tumbuhan darat. Ikan berahang dan ikan hiu semakin aktif sebagai pemangsa di dalam lautan. Pada zaman ini transisi kehidupan hewan-hewan yang berpindah dari lautan ke ke daratan masih terus berlanjut, sementarahewan Amfibi berkembang dan beranjak menuju daratan. Disamping itu tumbuhan darat semakin berkembang dengan pesatnya dan hewan serangga muncul untuk pertama kalinya. Sementara itu samudera menyempit sementara, sedangkan benua Gondwana menutupi Eropa, Amerika Utara dan Tanah Hijau.

7. Zaman Karbon (360 - 290 juta tahun lalu)
Pada zaman ini reptilia muncul untuk pertama kalinya dan dapat meletakkan telurnya di luar air, sementara serangga raksasa mulai bermunculan dan binatang ampibi semakin meningkat dalam jumlahnya. Pepohonan juga mulai bermunculan, demikian juga tumbuhan ferm dan paku ekor kuda tumbuh di rawa-rawa yang sekarang ini telah membatu menjadi batubara. Sementara itu benua-benua di muka bumi menyatu membentuk satu masa daratan yang disebut Pangea, dan mengalami perubahan lingkungan yang menghasilkan berbagai bentuk kehidupan. Di belahan bumi utara, iklim tropis menghasilkan rawa-rawa secara besar-besaran dengan berbagai tumbuhan yang sekarang ini tersimpan membatu menjadi batubara.

8. Zaman Perm (290 -250 juta tahun lalu)
“Perm” adalah nama sebuah propinsi tua di dekat pegunungan Ural, Rusia. Pada zaman ini hewan reptilia berkembang pesat, munculk berbagai jenis serangga (modern) , tumbuhan konifer dan Grikgo primitif. Namun demikian pada zaman ini hewan ampibi menjadi kurang begitu berperan, dan terjadi kepunahan micsa, koral dan ikan dalam skala besar, Tribolit.
Sementara itu benua Pangea bergabung bersama dan bergerak sebagai satu massa daratan, Lapisan es menutup Amerika Selatan, Antartika, Australia dan Afrika, membendung air dan menurunkan muka air laut. Iklim yang kering dengan kondisi gurun pasir mulai terbentuk di bagian utara bumi.

9. Zaman Trias (250-210 juta tahun lalu)
Pada zaman ini mulai bermunculan hewan Dinosaurus dan reptilia laut . Reptilia laut itu menyerupai mamalia pemakan daging yang disebut Cynodont mulai berkembang. Demikian juga Mamalia pertamapun mulai muncul zaman ini. Beberapa jenis reptilia yang hidup di air antara lain termasuk penyu dan kura-kura. Jenis tumbuhan yang berkembang pesat adalah tumbuhan sikada yang mirip dengan pohon palem.
Sementara itu Benua Pangea bergerak ke utara dan gurun terbentuk. Lembaran es di bagian selatan mencair dan celah-celah mulai terbentuk di Pangea.

10. Zaman Jura (210-140 juta tahun lalu)
Pada zaman ini hewan reptilia berkembang pesat, akan tetapi hewan-hewan raksasa Dinosaurus lah menguasai daratan, sedangkan Ichtiyosaurus berburu di dalam lautan dan Pterosaurus merajai angkasa. Banyak dinosaurus tumbuh dalam ukuran yang luar biasa. Burung sejati pertama (Archeopterya) berevolusi dan banyak jenis buaya berkembang. Pangea terpecah dimana Amerika Utara memisahkan diri dari Afrika sedangkan Amerika Selatan melepaskan diri dari Antartika dan Australia.

11. Zaman Kapur (140-65 juta tahun lalu)
Banyak dinosaurus raksasa dan reptilia terbang hidup pada zaman ini. Mamalia berari-ari muncul pertama kalinya. Pada akhir zaman ini Dinosaurus, Ichtiyosaurus, Pterosaurus, Plesiosaurus, Amonit dan Belemnit secara operlahan-lahan punah, sedangkan hewan mamalia dan tumbuhan berbunga mulai berkembangdengan berbagai bentuknya. Iklim sedang mulai muncul, sedangkan India terlepas jauh dari Afrika menuju Asia

12. Zaman Tersier (65 - 1,7 juta tahun lalu)
Pada zaman tersier terjadi perkembangan jenis kehidupan baru yaitu munculnya primata dan burung tak bergigi berukuran besar yang menyerupai burung unta, sedangkan fauna laut sepert ikan, moluska dan echinodermata sangat mirip dengan fauna laut yang hidup sekarang. Tumbuhan berbunga pada zaman Tersier terus berevolusi menghasilkan banyak variasi tumbuhan, seperti semak belukar, tumbuhan merambat dan rumput. Selanjutnya antara zaman Tersier dan Kuarter, terjadi pkemunculan dan kepunahan hewan dan tumbuhan saling berganti seiring dengan perubahan cuaca secara global

13. Zaman Kuarter (1,7 juta tahun lalu - sekarang)
Zaman Kuarter terdiri dari kala (masa) Plestosen dan Holosen. Kala Plestosen mulai sekitar 1,8 juta tahun yang lalu dan berakhir pada 10.000 tahun yang lalu. Sementara masa Holosen yang menyusulnya kemudian masih berlangsung sampai sekarang. Pada kala Plestosen paling sedikit terjadi 5 kali zaman es (zaman glasial). Pada zaman glasial sebagian besar Eropa, Amerika utara dan Asia bagian utara tertutup es, demikian juga untuk sebagian pegunungan Alpen, pegunungan Cherpatia dan pegunungan Himalaya Di antara 4 zaman es ini terdapat zaman Intra Glasial, yaitu munculnya iklim bumi lebih hangat. Di Jawa fosil manusia purba (Homo erectus yang dulu disebut Pithecanthropus erectus) muncul pada masa Plestosen, sementara manusia Modern yang mempunyai peradaban baru muncul pada Kala Holosen. Flora dan fauna yang hidup pada kala Plestosen sangat mirip dengan flora dan fauna yang hidup sekarang


Bumi Indonesia
Dalam perjalanan evolusinya, bentuk permukaan bumi selalu berubah-ubah. Hal itu disebabkan oleh berbagai peristiwa alam seperti gerakan pengankatan (orogenesa), gerakan pengikisan (erosi), dan kegiatan gunung api. Orogenesa mengakibatkan munculnya daratan-daratan baru yang berupa lapisan-lapisan tanah terlipat, miring, berbukit-bukit, atau kerut-kerut. Sementara erosi yang disebabkan oleh hujan, aliran sungai, hembusan angin, dan gletser bisa mengikis tanah daratan dan pegunungan-pegunungan yang sudah ada. Kekuatan alam semacam itu menggerakkan atau memindahkan berbagai macam batuan, kerikil, pasir, lumpur atau debu dari daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah. Sementara letusan gunung berapi bisa menyemburkan bebatuan, kerikil, lahar, laba dan abu ke daerah-daerah sekitarnya baik ke daratan rendah maupun laut.
Pulau-pulau di Indonesia diperkirakan terbentuk pada zaman Tersier (65 - 1,7 juta tahun lalu), yang terbagi-bagi lagi menjadi zaman Miosen (12 juta tahun sebelum masehi); Palaeosen ( 70 juta tahun sebelum masehi); Eosen (30 juta tahun sebelum masehi); Oligasen (25 juta tahun sebelum masehi) dan selanjutnya. Namun demikian secara fisik kepulauan di Indonesia pada kala itu masih labil, sebagai akibat gerakan-gerakan bumi yaitu orogenesa (gerakan pengangkatan dan penurunan, aktivitas gunung berapi, gempa bumi, erosi oleh aliran sungai, angin, hujan dan sebagainya. Orogenesa ini pada suatu saat , yaitu zaman tersier, mengakibatkan sebagian wilayah Indonesia diselimuti oleh laut
Kemudian pada akhir zaman tersier terjadi lagi orogenesa yang mengakibatkan munculnya daratan-daratan baru di Indonesia, yang semula tertutup laut. Disamping itu pada akhir jaman tersier juga terjadi kegiatan vulkanisme besar yang memuntahkan bebatuan, lava dan pasir yang mengisi bagian-bagian rendah (laut) di sekitarnya sehinga menambah luasnya daratan-daratan yang sudah ada. Sehubungan dengan datangnya orang-orang dari tanah daratan Asia maka kepulauan Indonesia diperkirakan sudah ada pada zaman Plestosen (4 juta tahun sebelum masehi). Pulau-pulau terbentuk sepanjang garis yang berpengaruh kuat antara perubahan lempengan tektonik Australia dan Pasifik. Lempengan Australia berubah lambat naik kedalam jalan kecil lempeng Pasifik, yang bergerak ke selatan, dan antara garis-garis ini terbentanglah pulau-pulau Indonesia
Situasi lingkungan fisik pada kala plestosen bentuk muka bumi masih labil atau berubah-ubah sebagai akibat adanya gerakan endogen, eksogen maupun oleh perubahan iklim. Akan tetapi hewan dan tunbuh-tumbuhan sudah hidup merata di hampir seluruh muka bumi, sedangkan indikasi keberadaan manusia baru di ketahui mendiami beberapa daerah seperti di Afrika, Eropa dan Asia. Demikian juga di Indonesia pada kala itu, yaitu terjadinya perubahan perubahan baik dari daratan menjadi lautan atau sebaliknya, sebagai akibat gerakan pengangkatan dan penurunan (orogenesa). Pada kala Plestosen Jawa, Sumatra dan Kalimantan masih menyatu (bergandengan) dengan daratan Asia Tenggara, sedangkan untuk pulau-pulau lainnya di bagian Timur masih menyatu dengan daratan Australia. Sesudah berakhirnya zaman glasial yang disebabkan oleh naiknya suhu bumi, dan berakibat mencairnya daratan-daratan es, maka terjadilah kenaikan permukaan laut yang memisahkan pulau-pulau yang satu dengan yang lain atau dengan benua induknya. Jawa dan Sumatra misalnya terpisah dengan Asia, demikian juga Papua terpisah dengan Australia..
Dengan banyak gungung berapi di Indonesia, membuat wilayah ini sebagai salah satu negara yang paling banyak berubah wilayah geologinya di dunia. Pegunungan-pegunungan yang berada di pulau-pulau Indonesia terdiri lebih dari 400 gunung berapi, dimana 100 diantaranya masih aktif. Indonesia mengalami tiga kali getaran dalam sehari, gempa bumi sedikitnya satu kali dalam sehari dan sedikitnya satu kali letusan gunung berapi dalam setahun.Khusus pulau Jawa yang merupakan pulau vulkanis,kegiatan gunung berapi lebih merupakan faktor utama yang mempengaruhi kontur pulau tersebut, disamping erosi dan orogenesa. Hujan lebat yang terjadi pada kala plestosen menimbulnya banyak sungai-sungai besar, yang mengangkut bebatuan, kerikil pasir, lumpur. Sedimentasi atau pengendapan yang terjadi terus-menerus menimbulkan dataran-dataran rendah atau delta-delta di sekitar gumung-gunung atau daerah-daerah pegunungan.
Dari sisi ilmu geologi arkeologi, erosi yang ditimbulkan oleh sungai-sungai besar ternyata menyediakan lahan penelitian, karena erosi itu ternyata menyingkap lapisan-lapisan tanah pada zaman plestosen. Sebagai contoh, sebagai akibat erosi oleh sungai Bengawan Solo, dapat ditemukan sisa-sisa kehidupan kala plestosen di Jawa, yaitu temuan di Trinil (Ngawi) dan Ngandong (kabupaten Blora). Sewlain bisa menunjukkan sisa-sisa kehidupan purba, erosi oleh sungai-sungai dan hujan juga memberikan petunjuk adanya bermacam-macam lapisan tanah yang terjadi sebagai akibat peristiwa-peristiwa alam di mas lampau. Namun demikian pada sisi lain berbagai material yang dibawa oleh sungai-sungai juga mengakibatkan tertutupnya selat atau rawa yang dangkal. Sebagai contoh kota Semarang bawah dulunya merupakan laut dengan beberapa pulau kecilnya, yang salah satu di antaranya adalah pulau Tirang. Kemudian Jepara dulunya juga terpisah dengan pulau Jawa. Aktivitas vulkanik pada kala plestosen ternyata juga bisa mengakibatkan terbentuknya danau, karena terbendungnya sungai atau laut oleh letusan gunung berapi. Danau juga bisa terjadi dari kawah besar bekas letusan gunung berapi, seperti danau Batur di Bali.
Seperti telah disebutkan di muka bahwa pada kala Plestosen di Jawa telah ditemukan manusia purba yaitu Pithecanthropus erectus pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu, yang menandai zaman prasejarah Indonesia. Fosil manusia Jawa itu ditemukan oleh Eugène Dubois  di Trinil  pada tahun 1891 . Nama Pithecanthropus erectus sendiri berasal dari akar bahasa Yunani  dan latin  dan memiliki artimanusia-kera yang dapat berdiri.Memang menurut para ahli sejarah geologi, bahwa wilayah Indonesia modern muncul kira-kira sekitar masa Pleistocene  (Plestosen). Pada masa itu kepulauan Indonesia masih terhubung dengan Asia  Daratan. Dengan demikian bisa diperkirakan bahwa pemukim pertama wilayah tersebut adalah manusia Jawa . Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es  setelah berakhirnya Zaman Es .

Penutup
Bumi Indonesia dengan segala isinya merupakan bagian dari planet bumi yang tercipta melalui evolusi sejarah sejak milyaran tahun yang lalu. Dari hasil penemuan fosil-fosil yang merupakan sisa-sisa bukti kehidupan masa lalu, menunjukkan bahwa bumi Indonesia dan seisinya bukanlah lebih muda dibandingkan dengan bagian belahan bumi lainnya. Demikian juga manusia purba dan kebudayaan kuna di Indonesia bukan merupakan cabang atau subordinasi dari manusia atau kebudayaan bangsa lain, akan tetapi memang telah berkembang melalui proses evolusi yang sangat lama. Artinya bahwa di masa lalu bangsa atau penduduk yang merupakan nenek moyang bangsa Indonesia itu pada jaman prasejarah dan jaman sejarah prakoloinial bukanlah merupakan bangsa yang tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dapat dikatakan pula bahwa Tuhan tidak menciptakan bumi, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia Indonesia itu lebih rendah daripada yang lain. Akan tetapi yang bisa disaksikan sekarang ini, bangsa Indonesia memang tertinggal baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi serta kesejahteraan masyarakatnya, jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, khususnya dengan beberapa bangsa Eropa, Jepang, Korea, Amerika Serikat dan sebaginya. Hal itulah yang sebaiknya menjadi renungan pemegang kekuasaan agar bisa memanfaatkan secara optimal para ilmuwan Indonesia untuk melakukan penelitian-penelitian dan rekayasa ilmuah untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Daftar Pustaka
Bemmelen, R.W., 1941, Geologische Kaart van Java, toelichting bij de bladen 73 (Semarang) en 74 (Ungaran), dienst van de Mijnbouw in Nederlandsch Indie, ,Den Haag: W.P. van Stockum en Zoon.
Bordes, F. The Old stone age. London, World University Library, 1968.
Fairservis, W.A. The Origins of Oriental Civilization (Asal-usul Peradaban Timur). (terjemahan oleh Anwar), Jakarta: P.T. Kinta, tanpa angka tahun.
Heekeren H.R. van, “The Stone Age of Indonesia”, dalam Verhandelingen KITLV, LXI. The Hague: Martinus Nijhoff, 1972.
Hyperlink, http://www.geocities.com/museumgeologi.
Marks, P. “Geologi Sejarah” jilid IV. (Kursus BI tertulis: Ilmu Bumi). Bandung: Balai Pendidikan Guru, tanpa angka tahun.
_______, “Sratigrapic Lexicon ofr Indonesia”, Publikasi Keilmuan, No. 31. Yayasan geologi Bandung, tanpa angka tahun.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid I, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Sartono, S, “Genesis of Solo terraces”. Modern Quatemary Research in Southeast Asia, 2. 1975.
_______, “On Pleitocene migration routes of vertebrate fauna in Southeast Asia”. Gelo. Soc. Malaysia, 6, 1973.


INFORMASI KEKERINGAN TEMPORAL DAN SEBARAN SPASIAL DI SALURAN WILAYAH SUNGAI PEMALI COMAL, JAWA TENGAH

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Kekeringan sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim, terjadi peningkatan yang dibuktikan melalui analisa keberadaan trend intensitas kekeringan yang semakin besar dan meluas (Adidarma dkk, 2009). Hal ini menimbulkan pentingnya dilakukan upaya adaptasi baik dengan pendekatan struktur maupun non-struktur seperti Manajemen Bencana.
Salah satu komponen dasar yang diperlukan dalam menerapkan Manajemen Bencana adalah Sistem Monitoring tepat waktu. Kesiapan secara sosial (masyarakat yang kena bencana) dan teknis (perangkat keras dan lunak) untuk menerima teknologi Manajemen Bencana diperlukan agar informasi yang diterbitkan dapat berdaya guna. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2010 mengenai identifikasi sebaran tingkat keparahan kekeringan di wilayah sungai Pemali Comal, maka untuk pengembangan analisa kekeringan selanjutnya berupa informasi kekeringan melalui perangkat keras dan lunak yang saling berintegrasi. Sehingga, melalui informasi kekeringan maka kegiatan monitoring kekeringan tepat waktu dapat berjalan dengan baik.

 1.2  Lokasi Penelitian
Lokasi Kegiatan : SWS Pemali Comal di Jawa Tengah dengan jumlah pos hujan yang cukup rapat dengan tahun pengamatan yang cukup panjang dan sebagian besar wilayahnya merupakan persawahan rentan kekeringan. Analisa juga dilakukan di waduk Penjalin dan waduk cacaban, yang ada di SWS Pemali Comal.

 1.3  Permasalahan 
Perubahan tingkat kekeringan, durasi, dan intesitas kekeringan dengan berbagai skala waktu melalui pemodelan indeks kekeringan sehingga awal dan akhir periode kekeringan dapat terdeteksi. 



 1.4  Ruang Lingkup
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah curah hujan bulanan realtime yang diperoleh melalui sms yang dikirimkan setiap hari oleh pengamat 15 pos hujan terpilih. Berdasarkan data hujan realtime tersebut kemudian disusun model informasi kekeringan wilayah secara temporal (intensitas dan durasi kekeringan) dan sebaran spasial melalui peta kekeringan bulanan.

 1.5  Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari penelitian ini  adalah identifikasi tingkat keparahan kekeringan secara temporal dan spasial, di SWS Pemali-Comal. Sedangkan sasaran dari penelitian ini adalah membentuk model informasi kekeringan wilayah (secara spasial) dengan menggunakan data hujan realtime, yang diperoleh melalui sms yang dikirimkan oleh pengamat pos hujan setiap hari. 




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Faktor-faktor yang merangsang pemerintah untuk mengembangkan perencanaan kekeringan sangat beragam dan berbeda pada tiap negara. Akan tetapi, pada kebanyakan Negara telah dilakukan upaya untuk menanggapi kekeringan yang bertujuan mengurangi kerentanan. Kenyataannya, dengan suatu perlakuan tertentu, kerentanan dapat bertambah seperti contohnya harapan yang timbul oleh penerima bantuan pemerintah dapat membuat tingkat kerentanan bertambah besar. Disamping itu, kendala utama yang dihadapi dalam perencanaan kekeringan di seluruh dunia adalah kurang adanya pengertian mengenai kekeringan di antara pengambil kebijakan, staf teknik, peneliti dan masyarakat pada umumnya (Wilhite, 2000).
Di Amerika perencanaan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, negara bagian, wilayah. Sebagai contoh pada tahun 1982, hanya 3 negara bagian yang mengembangkan rencana kekeringan. Sekarang, 30 negara bagian sudah menyiapkan rencana tersebut dan selebihnya ada dalam berbagai tingkat perkembangan. Sejak tahun 1995 telah dibentuk NDMC (National Drought Mitigation Center) di Universitas Nebraska-Lincoln. Tugas utama badan tersebut adalah membantu masyarakat dan instansi atau lembaga pemerintah, mengembangkan dan melaksanakan tindakan untuk mengurangi kerawanan masyarakat terhadap kekeringan. Diperkirakan setiap tahunnya 12% dari benua Amerika mengalami kekeringan tingkat parah. Oleh karena itu NDMC mengutamakan pencegahan, mengikuti manajemen resiko daripada manajemen krisis. Hasil karya badan tersebut sudah dirasakan masyarakat luas terutama dalam membantu perencanaan kekeringan, merencanakan tindakan mitigasi proaktif dan mengadakan hubungan dengan ahli kekeringan lainnya (Wilhite, 2000).
Frekuensi kekeringan makin membesar akhir-akhir ini di Hongaria. Meskipun Hongaria merupakan wilayah kecil tetapi sifat kekeringanannya berkecenderungan berbeda secara signifikan di berbagai daerah di negara tersebut. Agar mencapai suatu sistem monitoring yang berdaya guna maka jaringan pos dari berbagai instansi dan negara dicoba dipadukan, sehingga peta kekeringan dapat digambarkan. Dalam hal ini digunakan indeks kekeringan SPI yang juga memperlihatkan suatu korelasi yang baik dengan parameter lain yang mencerminkan kekeringan. Seri waktu Palmer Drought Severity Index (PDSI) dan Standardized Precipitation Index (SPI) mengalami pemeriksaan trend melalui metode regresi dan Mann and Kendall. Hasil uji trend menunjukkan bahwa melalui seri waktu PDSI ditemukan pertambahan frekuensi kekeringan di beberapa pos hujan terutama di Dataran Rendah Hungaria. Hal yang sama juga dihasilkan oleh seri waktu SPI (Szalai, 2000).
Berdasarkan data hujan 1970-2004 di Kartanaka, India, telah diestimasikan SPI untuk berbagai skala waktu dan dipetakan untuk melihat sebaran spasialnya. Laporan mengenai kajian kekeringan yang dibuat oleh pemerintah dibandingkan dengan SPI dan menghasilkan koefisien korelasi 0,89 yang mengindikasikan korelasi yang cukup kuat (Sharma et al., 2006).
SPI telah digunakan di berbagai negara sebagai alat untuk memonitor kekeringan. Workshop on Indices and Early Warning Systems for Drought  di University of Nebraska-Lincoln melahirkan “Lincoln Declaration on Drought Indices” yang berisi pernyataan bahwa SPI akan mencerminkan sifat kekeringan meteorologi di seluruh dunia (SPI will characterize the meteorological drought around the world). Kelebihan SPI adalah sederhana dengan input hujan serta mampu menjelaskan kekeringan menggunakan skala waktu, mengandung standardisasi dan mampu mengindikasikan kering dan basah dengan cara yang sama. Kelemahan SPI mencakup, Pertama: menggunakan seri waktu variabel hujan yang cukup panjang dan handal, kedua: hanya dapat menjelaskan kekeringan meteorologi.
Skala waktu dalam metode SPI dihitung berdasarkan seri data hujan yang sudah di moving average selama n bulan sesuai dengan skala waktu yang ditentukan. Skala waktu mencerminkan kondisi propogasi air hujan menjadi siklus hidrologi seperti skala waktu 1 bulan (SPI-1) menengarai kondisi komponen siklus hidrologi jangka pendek seperti kelengasan tanah; 3 bulanan menengarai kondisi hujan musiman; 6 sampai 12 bulan : dampak terhadap ketersediaan air di sungai, kolam dan waduk (Bokal, 2010; Mc Kee, 1993). 
Definisi dari kekeringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal bila terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang dicanangkan. Dengan demikian, kekeringan tersebut ada dalam konteks iklim yang mengandung pengulangan dan terjadi pada semua rezim iklim, di wilayah dengan curah hujan kecil maupun besar. Penyimpangan yang terjadi bersifat sementara tidak seperti wilayah kering lainnya (aridity) yang iklimnya bersifat permanen dan bercurah hujan kecil. Kekeringan selalu dihubungkan dengan waktu, seperti keterlambatan terjadinya awal musim hujan, hujan yang turun dihubungkan dengan tingkat pertumbuhan tanaman dan parameter hujan seperti  intensitas dan jumlah kejadian hujan. Jadi setiap kejadian kekeringan bersifat unik dalam karakteristik iklim dan dampak. 
Keparahan kekeringan (drought severity) tergantung bukan hanya pada durasi, intensitas dan sebaran spasial saja, melainkan pada kebutuhan air manusia dan  tanaman yang ada dalam sistem wilayah suplai airnya. Kejadian kekeringan yang timbul jauh sebelum dampak membuat pengaruhnya terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan sulit untuk diidentifikasi dan dikuantifikasi. Sehingga, hal ini merupakan tantangan besar bagi peneliti yang bergerak dalam bidang iklim yang bersifat operasional. Mengenal kejadian kekeringan dapat dilakukan melalui informasi historis dan frekuensi kejadian ekstrim. Setelah perilaku kekeringan diketahui, perlu diidentifikasikan  faktor-faktor yang dapat menjelaskan tentang sektor-sektor yang berpotensi terancam resiko. Selanjutnya, suatu pengembangan program penanganan yang menyeluruh dan pelaksanaan tindakan mitigasi yang holistik akan mengarah pada sistem penanggulangan kekeringan dalam tatanan Manajemen Resiko (Wilhite, 2000).


   
BAB III
METODOLOGI


3.1  Metode pengumpulan data dan indeks kekeringan
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hujan bulanan historical dan realtime pada 15 pos hujan terpilih, berdasarkan hasil penelitian tahun 2010 dan  2011, dimana 15 pos hujan tersebut dianggap mamapu mewakili tingkat keparan kekeringan di SWS Pemali-Comal. Data hujan historical memiliki periode pencatatan data dari Tahun 1951–2010 yang merupakan hasil penelitian sebelumnya. Penambahan data selanjutnya dilakukan untuk data tahun 2010 dan 2011. Data  realtime  diperoleh dari 15 pos hujan terpilih, dimana untuk data hujan dari 4 pos hujan diperoleh melalui perangkat telemetri, sedangkan 11 pos hujan lainnya diperoleh melalui sms yang dikirimkan oleh para pengamat setiap hari.  Dalam menganalisa indeks kekeringan digunakan model SPI (Standardized Precipitation Index). Dari model tersebut dianalisa indeks kekeringan atau tingkat kekeringan dari level 0 (tidak kering) sampai level lebih kecil dari -2 (kekeringan ekstrim) dengan berbagai skala waktu yaitu SPI-1 (1 bulan), SPI-3 (3 bulan), SPI-6 (6 bulan), SPI-9 (9 bulan) dan SPI-12 (12 bulan). Tabel 1 menunjukkan klasifikasi tingkat keparahan kekeringan berdasarkan nilai SPI nya.
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Keparahan Kekeringan Berdasarkan Nilai SPI nya

Nilai SPI
Nilai SPI
2.00 A
Amat sangat basah
1.50 – 1.99
Sangat basah
1.00 – 1.49
Cukup basah
0.99 – 0.99
Mendekati normal
-1.00 – (-1.49)
Cukup kering
-1.50 – (-1.99)
Sangat kering
-2.00 atau < (-2.00)
Amat sangat kering




3.2  Durasi dan Intensitas Kekeringan Titik
Kejadian kekeringan didefinisikan sebagai waktu di mana SPI bertanda negatif terus menerus terjadi sampai nilai positif terjadi lagi, tenggang waktu tersebut dikatakan Durasi Kekeringan. Jika nilai SPI dijumlahkan selama tenggang waktu durasi tersebut akan menggambarkan jumlah kekeringan, selanjut intensitas kekeringan dihitung berdasarkan jumlah  dibagi durasi kekeringan (Hayes,1999; Edward,1997; McKee,1993). 
Jadi, seri data hujan bulanan melalui SPI dapat menghasilkan seri data SPI baru. Jika durasi kekeringan sudah dihitung maka intensitas kekeringan SPI dapat ditentukan pula. Kekeringan titik bersifat unidimensi dalam skala ruang, dihitung berdasarkan deret indekskekeringan SPI di setiap pos hujan yang mewakili suatu radius tertentu. Gambar 1 menunjukkan pengertian dari durasi, jumlah dan intensitas kekeringan. Bagian yang berada di atas garis rata-rata SPI, disebut surplus/basah. Bagian yang berada di bawah garis rata-ratadisebut defisit.
Jumlah bagian yang mengalami defisit berkesinambungan disebut jumlah kekeringan. Lama atau durasi terjadi pada bagian defisit yang berkesinambungan dengan satuan bulan. Gambaran kekeringan dalam bentuk durasi, merupakan hasil akumulasi kekeringan  selama kurun waktu tertentu, musiman atau tahunan.

Gambar 1. Durasi dan jumlah defisit, menurut SPI-1, pos hujan Pagongan (36)





3.3 Kekeringan  Wilayah
Untuk seri hujan bulanan yang mengandung periodisitas, melalui proses transformasi yang bertujuan memperlemah periodisitas dihasilkan variabel baru seperti SPI menghilangkan periodisitas musiman Ditambah lagi, dengan adanya standarisasi maka bobot dan distribusi frekuensi dari setiap seri data menjadi sama karena mempunyai rata-rata nol dan simpangan baku satu, sehingga dengan demikian, dapat dilakukan analisa regionalisasi.
Metode yang digunakan untuk merata-rata SPI dalam cakupan DAS, WS maupun SWS adalah Poligon Thiessen. Jika faktor bobot yang diperoleh dari metode tersebut dikalikan dengan SPI di setiap pos maka diperoleh satu deret SPI untuk wilayah yang bersangkutan. Metode ini tidak diterapkan pada seri waktu SPI saja, melainkan durasi dan intensitas juga.





BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1  Informasi Kekeringan Secara Temporal
Dari indeks kekeringan, jumlah dan durasi kekeringan dapat dihitung jika seri indeks kekeringan (SPI) tersedia secara runtun dari bulan ke bulan, dengan demikian intensitas kekeringan dapat dengan mudah dihitung yaitu jumlah kekeringan dibagi durasi kekeringan. Indeks kekeringan tidak mempunyai satuan, durasi bersatuan bulan menjadikan intensitas mempunyai unit 1/bulan.  Jika nilai SPI menggambarkan kondisi kekeringan di bulan yang bersangkutan dengan berbagai skala waktu maka intensitas kekeringan menggambarkan karakter kekeringan selama durasi waktu yang bersangkutan dan kebanyakan mempunyai  nilai satu, dengan perkataan lain tingkat kekeringan yang dialami masuk dalam kelompok kekeringan ringan. Intensitas kekeringan lebih banyak memunculkan makna bila dihitung secara regional dengan batas DAS atau SWS dibandingkan dengan per pos hujan. Gambar 2 sampai dengan Gambar 5, menunjukkan secara grafis besar intensitas kekeringan dengan berbagai skala waktu sebagai contoh di SWS Pemali-Comal (mewakili seluruh wilayah studi).
Di SWS Pemali Comal dari tahun 1997-2010 intensitas kekeringan SPI-1 yang melebihi satu adalah di tahun 2010 sebanyak dua kali selama masing-masing satu bulan dengan peringkat -1 sampai -1.2 serta untuk SPI-6 terdapat di tahun 2006 dan 2007 dengan puncak di peringkat -1.2 sampai -1.4 (kering sedang) dan durasi 13 bulan melewati musim hujan, lihat Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. Gambar 6 dan Gambar 7 menggambarkan secara grafis kondisi kekeringan di kedua waduk yang ada dalam wilayah studi yaitu Waduk Penjalin dan Waduk Cacaban.



Gambar 2. Intensitas kekeringan (SPI-1 dan SPI-3) di SWS Pemali-Comal dari tahun 1997-2010.

Gambar 3. Durasi  Kekeringan (SPI-1 dan SPI-3) di SWS Pemali-Comal tahun 1997-2010

Gambar 4. Intensitas kekeringan (SPI-6, SPI-9  dan SPI-12) di SWS Pemali-Comal dari tahun 1997-2010

Gambar 5. Durasi  Kekeringan (SPI-6; SPI-9 dan SPI-12) di SWS Pemali-Comal tahun 1997-2010



Gambar 6. Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Penjalin dari tahun 1997-2010 (SPI-1dan SPI-3) (a dan b); Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Penjalin dari tahun 1997-2010 (SPI-6; SPI-9 dan SPI-12) (c dan d)


Gambar 7. Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Cacaban dari tahun 1997-2010 (SPI-1dan SPI-3) (a dan b); Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Cacaban dari tahun 1997-2010 (SPI-6; SPI-9 dan SPI-12) (c dan d)


4.2  Informasi Kekeringan Secara Spasial
Peta kekeringan merupakan salah satu bentuk dari informasi kekeringan yang menggambarkan kondisi/sebaran kekeringan secara spasial. Peta kekeringan merupakan interpretasi dari nilai indeks kekeringan (SPI) yang mempunyai peringkat dari biasa  sampai yang ekstrim yang di dalam peta dinyatakan dengan bentuk gradasi warna.  Sebagai contoh peta kekeringan tahun 2010 dengan menggunakan SPI-3 dan SPI-12 dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.  Tahun 2010 menggambarkan tahun terakhir dari data yang dapat dikumpulkan mengindikasikan kekeringan yang melanda tidak merata seperti tahun 1997, terkonsentrasi diujung tenggara dan timur laut. Peta kekeringan tersebut tidak dapat memberikan informasi secara tepat awal dan akhir serta besarnya kekeringan selama periode kejadian. 
Peta kekeringan skala waktu 12 bulanan di tahun 2010 (Gambar 8) merupakan salah satu contoh bagaimana jika simpanan air selama 12 bulan ke belakang diperhitungkan maka hasilnya akan sangat berbeda dengan jika 3 bulan ke belakang yang diperhitungkan. Bulan Januari-Desember 2010 dengan skala waktu 3 bulanan (Gambar 9) cukup basah, bagian basah mengecil terus sampai bulan Juli 2010. Kenyataan ini berubah total jika 12 bulanan yang diperhitungkan jumlah simpanan air di tahun 2009 hanya sedikit sehingga kekeringan 12 bulanan di bulan Januari menjadi signifikan kering yang terus mengecil liputannya sampai bulan Juni 2010 mulai mengisi lagi di bulan Agustus sampai Desember 2010. 

Gambar 8. Peta Kekeringan 2010 Menggunakan SPI-12





Gambar 9. Peta Kekeringan 2010 Menggunakan SPI-3
Gambar 10 dan gambar 11 merupakan peta kekeringan yang menggambarkan sebaran kekeringan dari bulan Januari hingga Desember 2011 dan Januari-Februari 2012. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah Pemali Comal mengalami kondisi kering dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering. namun, di beberapa lokasi mengalami kondisi cukup basah hingga sangat basah.
Gambar 10. Peta Kekeringan bulan Januari s/d Desember Tahun 2011 Menggunakan SPI-3
Gambar 11. Peta Kekeringan bulan Januari - Februari Tahun 2012 Menggunakan SPI-3





   
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisa informasi kekeringan spasial dan temporal, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Informasi ini diharapkan dapat memberi ide dalam menangani dampak negatif kekeringan berbasis manajemen bencana dengan menggunakan perangkat lunak (model  Standardized Precipitation Index  atau  SPI) dan perangkat keras (peralatan telemetri) yang dihasilkan melalui kegiatan monitoring tingkat keparahan kekeringan dari waktu ke waktu yang dilengkapi dengan peta kekeringan.
2.      Peta kekeringan periode Januari hingga Juni 2011 menggambarkan sebaran kondisi kekeringan yang cukup merata dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering hingga sangat kering. Puncak kondisi kering terjadi di sebagian wilayah Pemalang. Namun, di sebagian wilayah Pekalongan dan Batang mengalami kondisi basah.
3.      Peta kekeringan periode Juli hingga Desember 2011 menggambarkan sebaran kondisi kekeringan yang  merata di hampir seluruh wilayah Pemali Comal dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering.

5.2 Saran
Semoga informasi kekeringan secara temporan dan spasial  ini dapat menjadi sumber informasi bagi Pemerintah, para praktisi, peneliti, serta pihak-pihak terkait lainnya, sehingga antisipasi dampak negatif dari keparahan kekeringan dapat dilakukan sedini mungkin.





DAFTAR PUSTAKA

Adidarma, Wanny, Lanny Martawati, dan Adelia Untari. 2009.  Apakah Trend Hujan di Musim Kemarau yang Berkurang Akan Menimbulkan Intensitas Kekeringan yang Bertambah Parah ?. Forum Group Discussion “Identifikasi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Sumberdaya Air dari Program: Penguatan IPTEK Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim”. Kementerian Negara Riset dan Teknologi diselenggarakan di  Balai Irigasi. Pusat Litbang Sumber Daya Air. Bekasi.
 Bokal, Sabina. 2011.  Standardized Precipitation Index tool for  drought monitoring-Examples from Slovenia. Drought Management Centre for Southeastern Europe (http://www.wamis.org/agm/meetings/slovenia10/S3-Bokal-SPI.pdf, diunduh 16 November 2012).
Edward, D.C. and T. B. MCKee. 1997. Characteristics of 20th century drought in the United States at multiple time scales. Climatology Report Number 97-2, Colorado States University. Fort Collins. Colorado.  
Hayes, M. J. 1999a.  Drought Indices. National Drought Mitigation Centre. (http://www.wrcc.dri.edu/spi/explanation.htm, diakses 16 November 2012)
 Hayes, M. J. et al., 1999b. Monitoring the 1996 Drought Using the Standardized Precipitation Index. Bulletin of the American Meteorological Society. Vol.80, No.3, March 1999.
 Mc.Kee, T.B., Doesken, N.J., and Kleist, J. 1993. The Relationship of Drought Frequency and Duration to Time Scales. Eighth Conference on Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California, USA, page 179-184.
 Szalai, S. et al. 2000. Drought Monitoring in Hungary, In WMO (WMO/TD No.1037). Early Warning Systems for Drought Preparedness and Drought Management, Proceeding of an Experts Group Meeting held September 5-7, 2000 in Lisbon, Portugal, page 182.
Sharma, Aditi, V.K. Dadhwal, C. Jeganathan, and V. Tolpekin. 2005.  Drought Monitoring using Standardized Precipitation Index:  A case study for the state of Katamaka. India. (http://www.gisdevelopment.net/application/natural_hazards/drought/,diunduh 16 November 2012).

Wilhite D.A., and D.S. Mark. 2000. Drought Early Warning System in the Context of Drought Preparedness and Mitigation, In WMO (WMO/TD No.1037). Early Warning Systems for Drought Preparedness and Drought Management, Proceeding of an Experts Group Meeting held September 5-7,2000 in Lisbon, Portugal.