BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekeringan sebagai salah
satu dampak dari perubahan iklim, terjadi peningkatan yang dibuktikan melalui
analisa keberadaan trend intensitas kekeringan yang semakin besar dan meluas
(Adidarma dkk, 2009). Hal ini menimbulkan pentingnya dilakukan upaya adaptasi
baik dengan pendekatan struktur maupun non-struktur seperti Manajemen Bencana.
Salah satu komponen
dasar yang diperlukan dalam menerapkan Manajemen Bencana adalah Sistem
Monitoring tepat waktu. Kesiapan secara sosial (masyarakat yang kena bencana)
dan teknis (perangkat keras dan lunak) untuk menerima teknologi Manajemen
Bencana diperlukan agar informasi yang diterbitkan dapat berdaya guna. Berdasarkan
hasil penelitian pada tahun 2010 mengenai identifikasi sebaran tingkat
keparahan kekeringan di wilayah sungai Pemali Comal, maka untuk pengembangan
analisa kekeringan selanjutnya berupa informasi kekeringan melalui perangkat
keras dan lunak yang saling berintegrasi. Sehingga, melalui informasi
kekeringan maka kegiatan monitoring kekeringan tepat waktu dapat berjalan
dengan baik.
1.2 Lokasi
Penelitian
Lokasi Kegiatan : SWS
Pemali Comal di Jawa Tengah dengan jumlah pos hujan yang cukup rapat dengan
tahun pengamatan yang cukup panjang dan sebagian besar wilayahnya merupakan
persawahan rentan kekeringan. Analisa juga dilakukan di waduk Penjalin dan
waduk cacaban, yang ada di SWS Pemali Comal.
1.3
Permasalahan
Perubahan tingkat kekeringan,
durasi, dan intesitas kekeringan dengan berbagai skala waktu melalui pemodelan
indeks kekeringan sehingga awal dan akhir periode kekeringan dapat
terdeteksi.
1.4 Ruang Lingkup
Variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah curah hujan bulanan realtime yang diperoleh melalui
sms yang dikirimkan setiap hari oleh pengamat 15 pos hujan terpilih.
Berdasarkan data hujan realtime tersebut kemudian disusun model informasi
kekeringan wilayah secara temporal (intensitas dan durasi kekeringan) dan
sebaran spasial melalui peta kekeringan bulanan.
1.5 Tujuan dan
Sasaran
Tujuan dari penelitian
ini adalah identifikasi tingkat
keparahan kekeringan secara temporal dan spasial, di SWS Pemali-Comal.
Sedangkan sasaran dari penelitian ini adalah membentuk model informasi
kekeringan wilayah (secara spasial) dengan menggunakan data hujan realtime,
yang diperoleh melalui sms yang dikirimkan oleh pengamat pos hujan setiap
hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor-faktor yang merangsang
pemerintah untuk mengembangkan perencanaan kekeringan sangat beragam dan
berbeda pada tiap negara. Akan tetapi, pada kebanyakan Negara telah dilakukan
upaya untuk menanggapi kekeringan yang bertujuan mengurangi kerentanan.
Kenyataannya, dengan suatu perlakuan tertentu, kerentanan dapat bertambah
seperti contohnya harapan yang timbul oleh penerima bantuan pemerintah dapat
membuat tingkat kerentanan bertambah besar. Disamping itu, kendala utama yang
dihadapi dalam perencanaan kekeringan di seluruh dunia adalah kurang adanya
pengertian mengenai kekeringan di antara pengambil kebijakan, staf teknik,
peneliti dan masyarakat pada umumnya (Wilhite, 2000).
Di Amerika perencanaan
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, negara bagian, wilayah. Sebagai contoh pada
tahun 1982, hanya 3 negara bagian yang mengembangkan rencana kekeringan.
Sekarang, 30 negara bagian sudah menyiapkan rencana tersebut dan selebihnya ada
dalam berbagai tingkat perkembangan. Sejak tahun 1995 telah dibentuk NDMC
(National Drought Mitigation Center) di Universitas Nebraska-Lincoln. Tugas
utama badan tersebut adalah membantu masyarakat dan instansi atau lembaga
pemerintah, mengembangkan dan melaksanakan tindakan untuk mengurangi kerawanan
masyarakat terhadap kekeringan. Diperkirakan setiap tahunnya 12% dari benua
Amerika mengalami kekeringan tingkat parah. Oleh karena itu NDMC mengutamakan
pencegahan, mengikuti manajemen resiko daripada manajemen krisis. Hasil karya
badan tersebut sudah dirasakan masyarakat luas terutama dalam membantu perencanaan
kekeringan, merencanakan tindakan mitigasi proaktif dan mengadakan hubungan
dengan ahli kekeringan lainnya (Wilhite, 2000).
Frekuensi kekeringan
makin membesar akhir-akhir ini di Hongaria. Meskipun Hongaria merupakan wilayah
kecil tetapi sifat kekeringanannya berkecenderungan berbeda secara signifikan
di berbagai daerah di negara tersebut. Agar mencapai suatu sistem monitoring
yang berdaya guna maka jaringan pos dari berbagai instansi dan negara dicoba
dipadukan, sehingga peta kekeringan dapat digambarkan. Dalam hal ini digunakan
indeks kekeringan SPI yang juga memperlihatkan suatu korelasi yang baik dengan
parameter lain yang mencerminkan kekeringan. Seri waktu Palmer Drought Severity Index (PDSI) dan Standardized Precipitation Index
(SPI) mengalami
pemeriksaan trend melalui metode regresi dan Mann and Kendall. Hasil uji trend
menunjukkan bahwa melalui seri waktu PDSI ditemukan pertambahan
frekuensi kekeringan di beberapa pos hujan terutama di Dataran Rendah Hungaria.
Hal yang sama juga dihasilkan oleh seri waktu SPI (Szalai, 2000).
Berdasarkan data hujan
1970-2004 di Kartanaka, India, telah diestimasikan SPI untuk berbagai skala
waktu dan dipetakan untuk melihat sebaran spasialnya. Laporan mengenai kajian
kekeringan yang dibuat oleh pemerintah dibandingkan dengan SPI dan menghasilkan
koefisien korelasi 0,89 yang mengindikasikan korelasi yang cukup kuat (Sharma
et al., 2006).
SPI telah digunakan di
berbagai negara sebagai alat untuk memonitor kekeringan. Workshop on Indices and Early
Warning Systems for Drought di University of Nebraska-Lincoln melahirkan
“Lincoln Declaration on Drought Indices” yang berisi pernyataan bahwa SPI
akan mencerminkan sifat kekeringan meteorologi di seluruh dunia (SPI
will characterize the meteorological drought around the world). Kelebihan SPI
adalah sederhana dengan input hujan serta mampu menjelaskan kekeringan
menggunakan skala waktu, mengandung standardisasi dan mampu mengindikasikan
kering dan basah dengan cara yang sama. Kelemahan SPI mencakup, Pertama:
menggunakan seri waktu variabel hujan yang cukup panjang dan handal, kedua: hanya dapat menjelaskan kekeringan meteorologi.
Skala waktu dalam metode
SPI dihitung berdasarkan seri data hujan yang sudah di moving average selama n bulan sesuai dengan skala waktu yang
ditentukan. Skala waktu mencerminkan kondisi propogasi air hujan menjadi siklus
hidrologi seperti skala waktu 1 bulan (SPI-1) menengarai kondisi komponen
siklus hidrologi jangka pendek seperti kelengasan tanah; 3 bulanan menengarai
kondisi hujan musiman; 6 sampai 12 bulan : dampak terhadap ketersediaan air di
sungai, kolam dan waduk (Bokal, 2010; Mc Kee, 1993).
Definisi dari kekeringan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kekurangan curah hujan dari biasanya
atau kondisi normal bila terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau
lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang
dicanangkan. Dengan demikian, kekeringan tersebut ada dalam konteks iklim yang
mengandung pengulangan dan terjadi pada semua rezim iklim, di wilayah dengan
curah hujan kecil maupun besar. Penyimpangan yang terjadi bersifat sementara
tidak seperti wilayah kering lainnya (aridity) yang iklimnya bersifat permanen
dan bercurah hujan kecil. Kekeringan selalu dihubungkan dengan waktu, seperti
keterlambatan terjadinya awal musim hujan, hujan yang turun dihubungkan dengan
tingkat pertumbuhan tanaman dan parameter hujan seperti intensitas dan jumlah kejadian hujan. Jadi
setiap kejadian kekeringan bersifat unik dalam karakteristik iklim dan dampak.
Keparahan kekeringan
(drought severity) tergantung bukan hanya pada durasi, intensitas dan sebaran
spasial saja, melainkan pada kebutuhan air manusia dan tanaman yang ada dalam sistem wilayah suplai
airnya. Kejadian kekeringan yang timbul jauh sebelum dampak membuat pengaruhnya
terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan sulit untuk diidentifikasi dan
dikuantifikasi. Sehingga, hal ini merupakan tantangan besar bagi peneliti yang
bergerak dalam bidang iklim yang bersifat operasional. Mengenal kejadian
kekeringan dapat dilakukan melalui informasi historis dan frekuensi kejadian
ekstrim. Setelah perilaku kekeringan diketahui, perlu diidentifikasikan faktor-faktor yang dapat menjelaskan tentang
sektor-sektor yang berpotensi terancam resiko. Selanjutnya, suatu pengembangan
program penanganan yang menyeluruh dan pelaksanaan tindakan mitigasi yang
holistik akan mengarah pada sistem penanggulangan kekeringan dalam tatanan
Manajemen Resiko (Wilhite, 2000).
BAB III
METODOLOGI
3.1
Metode pengumpulan data dan indeks kekeringan
Data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hujan bulanan
historical dan realtime pada 15 pos hujan terpilih, berdasarkan hasil
penelitian tahun 2010 dan 2011, dimana
15 pos hujan tersebut dianggap mamapu mewakili tingkat keparan kekeringan di
SWS Pemali-Comal. Data hujan historical memiliki periode pencatatan data dari
Tahun 1951–2010 yang merupakan hasil penelitian sebelumnya. Penambahan data
selanjutnya dilakukan untuk data tahun 2010 dan 2011. Data realtime
diperoleh dari 15 pos hujan terpilih, dimana untuk data hujan dari 4 pos
hujan diperoleh melalui perangkat telemetri, sedangkan 11 pos hujan lainnya
diperoleh melalui sms yang dikirimkan oleh para pengamat setiap hari. Dalam menganalisa indeks kekeringan digunakan
model SPI (Standardized Precipitation Index). Dari model tersebut dianalisa
indeks kekeringan atau tingkat kekeringan dari level 0 (tidak kering) sampai
level lebih kecil dari -2 (kekeringan ekstrim) dengan berbagai skala waktu yaitu
SPI-1 (1 bulan), SPI-3 (3 bulan), SPI-6 (6 bulan), SPI-9 (9 bulan) dan SPI-12
(12 bulan). Tabel 1 menunjukkan klasifikasi tingkat keparahan kekeringan
berdasarkan nilai SPI nya.
Tabel 1. Klasifikasi
Tingkat Keparahan Kekeringan Berdasarkan Nilai SPI nya
Nilai SPI
|
Nilai SPI
|
2.00 A
|
Amat sangat basah
|
1.50 – 1.99
|
Sangat basah
|
1.00 – 1.49
|
Cukup basah
|
0.99 – 0.99
|
Mendekati normal
|
-1.00 – (-1.49)
|
Cukup kering
|
-1.50 – (-1.99)
|
Sangat kering
|
-2.00 atau < (-2.00)
|
Amat sangat kering
|
3.2 Durasi dan
Intensitas Kekeringan Titik
Kejadian
kekeringan didefinisikan sebagai waktu di mana SPI bertanda negatif terus
menerus terjadi sampai nilai positif terjadi lagi, tenggang waktu tersebut
dikatakan Durasi Kekeringan. Jika nilai SPI dijumlahkan selama tenggang waktu
durasi tersebut akan menggambarkan jumlah kekeringan, selanjut intensitas
kekeringan dihitung berdasarkan jumlah
dibagi durasi kekeringan (Hayes,1999; Edward,1997; McKee,1993).
Jadi,
seri data hujan bulanan melalui SPI dapat menghasilkan seri data SPI baru. Jika
durasi kekeringan sudah dihitung maka intensitas kekeringan SPI dapat
ditentukan pula. Kekeringan titik bersifat unidimensi dalam skala ruang, dihitung
berdasarkan deret indekskekeringan SPI di setiap pos hujan yang mewakili suatu
radius tertentu. Gambar 1 menunjukkan pengertian dari durasi, jumlah dan
intensitas kekeringan. Bagian yang berada di atas garis rata-rata SPI, disebut
surplus/basah. Bagian yang berada di bawah garis rata-ratadisebut defisit.
Jumlah
bagian yang mengalami defisit berkesinambungan disebut jumlah kekeringan. Lama
atau durasi terjadi pada bagian defisit yang berkesinambungan dengan satuan bulan.
Gambaran kekeringan dalam bentuk durasi, merupakan hasil akumulasi
kekeringan selama kurun waktu tertentu,
musiman atau tahunan.
Gambar
1. Durasi dan jumlah defisit, menurut SPI-1, pos hujan Pagongan (36)
3.3 Kekeringan
Wilayah
Untuk
seri hujan bulanan yang mengandung periodisitas, melalui proses transformasi
yang bertujuan memperlemah periodisitas dihasilkan variabel baru seperti SPI
menghilangkan periodisitas musiman Ditambah lagi, dengan adanya standarisasi
maka bobot dan distribusi frekuensi dari setiap seri data menjadi sama karena
mempunyai rata-rata nol dan simpangan baku satu, sehingga dengan demikian,
dapat dilakukan analisa regionalisasi.
Metode
yang digunakan untuk merata-rata SPI dalam cakupan DAS, WS maupun SWS adalah
Poligon Thiessen. Jika faktor bobot yang diperoleh dari metode tersebut
dikalikan dengan SPI di setiap pos maka diperoleh satu deret SPI untuk wilayah
yang bersangkutan. Metode ini tidak diterapkan pada seri waktu SPI saja,
melainkan durasi dan intensitas juga.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Informasi
Kekeringan Secara Temporal
Dari
indeks kekeringan, jumlah dan durasi kekeringan dapat dihitung jika seri indeks
kekeringan (SPI) tersedia secara runtun dari bulan ke bulan, dengan demikian
intensitas kekeringan dapat dengan mudah dihitung yaitu jumlah kekeringan
dibagi durasi kekeringan. Indeks kekeringan tidak mempunyai satuan, durasi
bersatuan bulan menjadikan intensitas mempunyai unit 1/bulan. Jika nilai SPI menggambarkan kondisi kekeringan
di bulan yang bersangkutan dengan berbagai skala waktu maka intensitas
kekeringan menggambarkan karakter kekeringan selama durasi waktu yang
bersangkutan dan kebanyakan mempunyai
nilai satu, dengan perkataan lain tingkat kekeringan yang dialami masuk
dalam kelompok kekeringan ringan. Intensitas kekeringan lebih banyak
memunculkan makna bila dihitung secara regional dengan batas DAS atau SWS
dibandingkan dengan per pos hujan. Gambar 2 sampai dengan Gambar 5, menunjukkan
secara grafis besar intensitas kekeringan dengan berbagai skala waktu sebagai
contoh di SWS Pemali-Comal (mewakili seluruh wilayah studi).
Di
SWS Pemali Comal dari tahun 1997-2010 intensitas kekeringan SPI-1 yang melebihi
satu adalah di tahun 2010 sebanyak dua kali selama masing-masing satu bulan
dengan peringkat -1 sampai -1.2 serta untuk SPI-6 terdapat di tahun 2006 dan
2007 dengan puncak di peringkat -1.2 sampai -1.4 (kering sedang) dan durasi 13
bulan melewati musim hujan, lihat Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. Gambar 6 dan
Gambar 7 menggambarkan secara grafis kondisi kekeringan di kedua waduk yang ada
dalam wilayah studi yaitu Waduk Penjalin dan Waduk Cacaban.
Gambar
2. Intensitas kekeringan (SPI-1 dan SPI-3) di SWS Pemali-Comal dari tahun
1997-2010.
Gambar
3. Durasi Kekeringan (SPI-1 dan SPI-3)
di SWS Pemali-Comal tahun 1997-2010
Gambar
4. Intensitas kekeringan (SPI-6, SPI-9
dan SPI-12) di SWS Pemali-Comal dari tahun 1997-2010
Gambar
5. Durasi Kekeringan (SPI-6; SPI-9 dan
SPI-12) di SWS Pemali-Comal tahun 1997-2010
Gambar 6. Intensitas
dan durasi kekeringan di Waduk Penjalin dari tahun 1997-2010 (SPI-1dan SPI-3)
(a dan b); Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Penjalin dari tahun
1997-2010 (SPI-6; SPI-9 dan SPI-12) (c dan d)
Gambar 7. Intensitas
dan durasi kekeringan di Waduk Cacaban dari tahun 1997-2010 (SPI-1dan SPI-3) (a
dan b); Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Cacaban dari tahun 1997-2010 (SPI-6;
SPI-9 dan SPI-12) (c dan d)
4.2 Informasi Kekeringan Secara Spasial
Peta kekeringan merupakan salah
satu bentuk dari informasi kekeringan yang menggambarkan kondisi/sebaran
kekeringan secara spasial. Peta kekeringan merupakan interpretasi dari nilai
indeks kekeringan (SPI) yang mempunyai peringkat dari biasa sampai yang ekstrim yang di dalam peta
dinyatakan dengan bentuk gradasi warna.
Sebagai contoh peta kekeringan tahun 2010 dengan menggunakan SPI-3 dan SPI-12
dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
Tahun 2010 menggambarkan tahun terakhir dari data yang dapat dikumpulkan
mengindikasikan kekeringan yang melanda tidak merata seperti tahun 1997,
terkonsentrasi diujung tenggara dan timur laut. Peta kekeringan tersebut tidak
dapat memberikan informasi secara tepat awal dan akhir serta besarnya
kekeringan selama periode kejadian.
Peta kekeringan skala waktu 12
bulanan di tahun 2010 (Gambar 8) merupakan salah satu contoh bagaimana jika
simpanan air selama 12 bulan ke belakang diperhitungkan maka hasilnya akan
sangat berbeda dengan jika 3 bulan ke belakang yang diperhitungkan. Bulan
Januari-Desember 2010 dengan skala waktu 3 bulanan (Gambar 9) cukup basah,
bagian basah mengecil terus sampai bulan Juli 2010. Kenyataan ini berubah total
jika 12 bulanan yang diperhitungkan jumlah simpanan air di tahun 2009 hanya sedikit
sehingga kekeringan 12 bulanan di bulan Januari menjadi signifikan kering yang
terus mengecil liputannya sampai bulan Juni 2010 mulai mengisi lagi di bulan
Agustus sampai Desember 2010.
Gambar 8. Peta
Kekeringan 2010 Menggunakan SPI-12
Gambar 9. Peta
Kekeringan 2010 Menggunakan SPI-3
Gambar
10 dan gambar 11 merupakan peta kekeringan yang menggambarkan sebaran
kekeringan dari bulan Januari hingga Desember 2011 dan Januari-Februari 2012.
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah Pemali Comal
mengalami kondisi kering dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering. namun,
di beberapa lokasi mengalami kondisi cukup basah hingga sangat basah.
Gambar 10. Peta Kekeringan bulan Januari s/d Desember Tahun
2011 Menggunakan SPI-3
Gambar 11. Peta Kekeringan bulan Januari - Februari Tahun
2012 Menggunakan SPI-3
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari
hasil analisa informasi kekeringan spasial dan temporal, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Informasi
ini diharapkan dapat memberi ide dalam menangani dampak negatif kekeringan
berbasis manajemen bencana dengan menggunakan perangkat lunak (model Standardized Precipitation Index atau
SPI) dan perangkat keras (peralatan telemetri) yang dihasilkan melalui
kegiatan monitoring tingkat keparahan kekeringan dari waktu ke waktu yang
dilengkapi dengan peta kekeringan.
2. Peta
kekeringan periode Januari hingga Juni 2011 menggambarkan sebaran kondisi
kekeringan yang cukup merata dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering
hingga sangat kering. Puncak kondisi kering terjadi di sebagian wilayah
Pemalang. Namun, di sebagian wilayah Pekalongan dan Batang mengalami kondisi
basah.
3. Peta
kekeringan periode Juli hingga Desember 2011 menggambarkan sebaran kondisi
kekeringan yang merata di hampir seluruh
wilayah Pemali Comal dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering.
5.2 Saran
Semoga informasi kekeringan secara temporan dan spasial ini dapat menjadi sumber informasi bagi
Pemerintah, para praktisi, peneliti, serta pihak-pihak terkait lainnya,
sehingga antisipasi dampak negatif dari keparahan kekeringan dapat dilakukan
sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Adidarma,
Wanny, Lanny Martawati, dan Adelia Untari. 2009. Apakah Trend Hujan di Musim Kemarau yang
Berkurang Akan Menimbulkan Intensitas Kekeringan yang Bertambah Parah ?. Forum
Group Discussion “Identifikasi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Sumberdaya
Air dari Program: Penguatan IPTEK Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim”. Kementerian
Negara Riset dan Teknologi diselenggarakan di
Balai Irigasi. Pusat Litbang Sumber Daya Air. Bekasi.
Bokal, Sabina. 2011. Standardized Precipitation Index tool
for drought monitoring-Examples from
Slovenia. Drought Management Centre for Southeastern Europe (http://www.wamis.org/agm/meetings/slovenia10/S3-Bokal-SPI.pdf,
diunduh 16 November 2012).
Edward,
D.C. and T. B. MCKee. 1997. Characteristics of 20th century drought in the United
States at multiple time scales. Climatology Report Number 97-2, Colorado States
University. Fort Collins. Colorado.
Hayes,
M. J. 1999a. Drought Indices. National
Drought Mitigation Centre. (http://www.wrcc.dri.edu/spi/explanation.htm,
diakses 16 November 2012)
Hayes, M. J. et al., 1999b. Monitoring the
1996 Drought Using the Standardized Precipitation Index. Bulletin of the American
Meteorological Society. Vol.80, No.3, March 1999.
Mc.Kee, T.B., Doesken, N.J., and Kleist, J.
1993. The Relationship of Drought Frequency and Duration to Time Scales. Eighth
Conference on Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California,
USA, page 179-184.
Szalai, S. et al. 2000. Drought Monitoring in
Hungary, In WMO (WMO/TD No.1037). Early Warning Systems for Drought
Preparedness and Drought Management, Proceeding of an Experts Group Meeting
held September 5-7, 2000 in Lisbon, Portugal, page 182.
Sharma,
Aditi, V.K. Dadhwal, C. Jeganathan, and V. Tolpekin. 2005. Drought Monitoring using Standardized Precipitation
Index: A case study for the state of
Katamaka. India. (http://www.gisdevelopment.net/application/natural_hazards/drought/,diunduh
16 November 2012).
Wilhite
D.A., and D.S. Mark. 2000. Drought Early Warning System in the Context of
Drought Preparedness and Mitigation, In WMO (WMO/TD No.1037). Early Warning Systems
for Drought Preparedness and Drought Management, Proceeding of an Experts Group
Meeting held September 5-7,2000 in Lisbon, Portugal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar