Jumat, 18 Maret 2016

INFORMASI KEKERINGAN TEMPORAL DAN SEBARAN SPASIAL DI SALURAN WILAYAH SUNGAI PEMALI COMAL, JAWA TENGAH

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Kekeringan sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim, terjadi peningkatan yang dibuktikan melalui analisa keberadaan trend intensitas kekeringan yang semakin besar dan meluas (Adidarma dkk, 2009). Hal ini menimbulkan pentingnya dilakukan upaya adaptasi baik dengan pendekatan struktur maupun non-struktur seperti Manajemen Bencana.
Salah satu komponen dasar yang diperlukan dalam menerapkan Manajemen Bencana adalah Sistem Monitoring tepat waktu. Kesiapan secara sosial (masyarakat yang kena bencana) dan teknis (perangkat keras dan lunak) untuk menerima teknologi Manajemen Bencana diperlukan agar informasi yang diterbitkan dapat berdaya guna. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2010 mengenai identifikasi sebaran tingkat keparahan kekeringan di wilayah sungai Pemali Comal, maka untuk pengembangan analisa kekeringan selanjutnya berupa informasi kekeringan melalui perangkat keras dan lunak yang saling berintegrasi. Sehingga, melalui informasi kekeringan maka kegiatan monitoring kekeringan tepat waktu dapat berjalan dengan baik.

 1.2  Lokasi Penelitian
Lokasi Kegiatan : SWS Pemali Comal di Jawa Tengah dengan jumlah pos hujan yang cukup rapat dengan tahun pengamatan yang cukup panjang dan sebagian besar wilayahnya merupakan persawahan rentan kekeringan. Analisa juga dilakukan di waduk Penjalin dan waduk cacaban, yang ada di SWS Pemali Comal.

 1.3  Permasalahan 
Perubahan tingkat kekeringan, durasi, dan intesitas kekeringan dengan berbagai skala waktu melalui pemodelan indeks kekeringan sehingga awal dan akhir periode kekeringan dapat terdeteksi. 



 1.4  Ruang Lingkup
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah curah hujan bulanan realtime yang diperoleh melalui sms yang dikirimkan setiap hari oleh pengamat 15 pos hujan terpilih. Berdasarkan data hujan realtime tersebut kemudian disusun model informasi kekeringan wilayah secara temporal (intensitas dan durasi kekeringan) dan sebaran spasial melalui peta kekeringan bulanan.

 1.5  Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari penelitian ini  adalah identifikasi tingkat keparahan kekeringan secara temporal dan spasial, di SWS Pemali-Comal. Sedangkan sasaran dari penelitian ini adalah membentuk model informasi kekeringan wilayah (secara spasial) dengan menggunakan data hujan realtime, yang diperoleh melalui sms yang dikirimkan oleh pengamat pos hujan setiap hari. 




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Faktor-faktor yang merangsang pemerintah untuk mengembangkan perencanaan kekeringan sangat beragam dan berbeda pada tiap negara. Akan tetapi, pada kebanyakan Negara telah dilakukan upaya untuk menanggapi kekeringan yang bertujuan mengurangi kerentanan. Kenyataannya, dengan suatu perlakuan tertentu, kerentanan dapat bertambah seperti contohnya harapan yang timbul oleh penerima bantuan pemerintah dapat membuat tingkat kerentanan bertambah besar. Disamping itu, kendala utama yang dihadapi dalam perencanaan kekeringan di seluruh dunia adalah kurang adanya pengertian mengenai kekeringan di antara pengambil kebijakan, staf teknik, peneliti dan masyarakat pada umumnya (Wilhite, 2000).
Di Amerika perencanaan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, negara bagian, wilayah. Sebagai contoh pada tahun 1982, hanya 3 negara bagian yang mengembangkan rencana kekeringan. Sekarang, 30 negara bagian sudah menyiapkan rencana tersebut dan selebihnya ada dalam berbagai tingkat perkembangan. Sejak tahun 1995 telah dibentuk NDMC (National Drought Mitigation Center) di Universitas Nebraska-Lincoln. Tugas utama badan tersebut adalah membantu masyarakat dan instansi atau lembaga pemerintah, mengembangkan dan melaksanakan tindakan untuk mengurangi kerawanan masyarakat terhadap kekeringan. Diperkirakan setiap tahunnya 12% dari benua Amerika mengalami kekeringan tingkat parah. Oleh karena itu NDMC mengutamakan pencegahan, mengikuti manajemen resiko daripada manajemen krisis. Hasil karya badan tersebut sudah dirasakan masyarakat luas terutama dalam membantu perencanaan kekeringan, merencanakan tindakan mitigasi proaktif dan mengadakan hubungan dengan ahli kekeringan lainnya (Wilhite, 2000).
Frekuensi kekeringan makin membesar akhir-akhir ini di Hongaria. Meskipun Hongaria merupakan wilayah kecil tetapi sifat kekeringanannya berkecenderungan berbeda secara signifikan di berbagai daerah di negara tersebut. Agar mencapai suatu sistem monitoring yang berdaya guna maka jaringan pos dari berbagai instansi dan negara dicoba dipadukan, sehingga peta kekeringan dapat digambarkan. Dalam hal ini digunakan indeks kekeringan SPI yang juga memperlihatkan suatu korelasi yang baik dengan parameter lain yang mencerminkan kekeringan. Seri waktu Palmer Drought Severity Index (PDSI) dan Standardized Precipitation Index (SPI) mengalami pemeriksaan trend melalui metode regresi dan Mann and Kendall. Hasil uji trend menunjukkan bahwa melalui seri waktu PDSI ditemukan pertambahan frekuensi kekeringan di beberapa pos hujan terutama di Dataran Rendah Hungaria. Hal yang sama juga dihasilkan oleh seri waktu SPI (Szalai, 2000).
Berdasarkan data hujan 1970-2004 di Kartanaka, India, telah diestimasikan SPI untuk berbagai skala waktu dan dipetakan untuk melihat sebaran spasialnya. Laporan mengenai kajian kekeringan yang dibuat oleh pemerintah dibandingkan dengan SPI dan menghasilkan koefisien korelasi 0,89 yang mengindikasikan korelasi yang cukup kuat (Sharma et al., 2006).
SPI telah digunakan di berbagai negara sebagai alat untuk memonitor kekeringan. Workshop on Indices and Early Warning Systems for Drought  di University of Nebraska-Lincoln melahirkan “Lincoln Declaration on Drought Indices” yang berisi pernyataan bahwa SPI akan mencerminkan sifat kekeringan meteorologi di seluruh dunia (SPI will characterize the meteorological drought around the world). Kelebihan SPI adalah sederhana dengan input hujan serta mampu menjelaskan kekeringan menggunakan skala waktu, mengandung standardisasi dan mampu mengindikasikan kering dan basah dengan cara yang sama. Kelemahan SPI mencakup, Pertama: menggunakan seri waktu variabel hujan yang cukup panjang dan handal, kedua: hanya dapat menjelaskan kekeringan meteorologi.
Skala waktu dalam metode SPI dihitung berdasarkan seri data hujan yang sudah di moving average selama n bulan sesuai dengan skala waktu yang ditentukan. Skala waktu mencerminkan kondisi propogasi air hujan menjadi siklus hidrologi seperti skala waktu 1 bulan (SPI-1) menengarai kondisi komponen siklus hidrologi jangka pendek seperti kelengasan tanah; 3 bulanan menengarai kondisi hujan musiman; 6 sampai 12 bulan : dampak terhadap ketersediaan air di sungai, kolam dan waduk (Bokal, 2010; Mc Kee, 1993). 
Definisi dari kekeringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal bila terjadi berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih panjang akan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang dicanangkan. Dengan demikian, kekeringan tersebut ada dalam konteks iklim yang mengandung pengulangan dan terjadi pada semua rezim iklim, di wilayah dengan curah hujan kecil maupun besar. Penyimpangan yang terjadi bersifat sementara tidak seperti wilayah kering lainnya (aridity) yang iklimnya bersifat permanen dan bercurah hujan kecil. Kekeringan selalu dihubungkan dengan waktu, seperti keterlambatan terjadinya awal musim hujan, hujan yang turun dihubungkan dengan tingkat pertumbuhan tanaman dan parameter hujan seperti  intensitas dan jumlah kejadian hujan. Jadi setiap kejadian kekeringan bersifat unik dalam karakteristik iklim dan dampak. 
Keparahan kekeringan (drought severity) tergantung bukan hanya pada durasi, intensitas dan sebaran spasial saja, melainkan pada kebutuhan air manusia dan  tanaman yang ada dalam sistem wilayah suplai airnya. Kejadian kekeringan yang timbul jauh sebelum dampak membuat pengaruhnya terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan sulit untuk diidentifikasi dan dikuantifikasi. Sehingga, hal ini merupakan tantangan besar bagi peneliti yang bergerak dalam bidang iklim yang bersifat operasional. Mengenal kejadian kekeringan dapat dilakukan melalui informasi historis dan frekuensi kejadian ekstrim. Setelah perilaku kekeringan diketahui, perlu diidentifikasikan  faktor-faktor yang dapat menjelaskan tentang sektor-sektor yang berpotensi terancam resiko. Selanjutnya, suatu pengembangan program penanganan yang menyeluruh dan pelaksanaan tindakan mitigasi yang holistik akan mengarah pada sistem penanggulangan kekeringan dalam tatanan Manajemen Resiko (Wilhite, 2000).


   
BAB III
METODOLOGI


3.1  Metode pengumpulan data dan indeks kekeringan
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hujan bulanan historical dan realtime pada 15 pos hujan terpilih, berdasarkan hasil penelitian tahun 2010 dan  2011, dimana 15 pos hujan tersebut dianggap mamapu mewakili tingkat keparan kekeringan di SWS Pemali-Comal. Data hujan historical memiliki periode pencatatan data dari Tahun 1951–2010 yang merupakan hasil penelitian sebelumnya. Penambahan data selanjutnya dilakukan untuk data tahun 2010 dan 2011. Data  realtime  diperoleh dari 15 pos hujan terpilih, dimana untuk data hujan dari 4 pos hujan diperoleh melalui perangkat telemetri, sedangkan 11 pos hujan lainnya diperoleh melalui sms yang dikirimkan oleh para pengamat setiap hari.  Dalam menganalisa indeks kekeringan digunakan model SPI (Standardized Precipitation Index). Dari model tersebut dianalisa indeks kekeringan atau tingkat kekeringan dari level 0 (tidak kering) sampai level lebih kecil dari -2 (kekeringan ekstrim) dengan berbagai skala waktu yaitu SPI-1 (1 bulan), SPI-3 (3 bulan), SPI-6 (6 bulan), SPI-9 (9 bulan) dan SPI-12 (12 bulan). Tabel 1 menunjukkan klasifikasi tingkat keparahan kekeringan berdasarkan nilai SPI nya.
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Keparahan Kekeringan Berdasarkan Nilai SPI nya

Nilai SPI
Nilai SPI
2.00 A
Amat sangat basah
1.50 – 1.99
Sangat basah
1.00 – 1.49
Cukup basah
0.99 – 0.99
Mendekati normal
-1.00 – (-1.49)
Cukup kering
-1.50 – (-1.99)
Sangat kering
-2.00 atau < (-2.00)
Amat sangat kering




3.2  Durasi dan Intensitas Kekeringan Titik
Kejadian kekeringan didefinisikan sebagai waktu di mana SPI bertanda negatif terus menerus terjadi sampai nilai positif terjadi lagi, tenggang waktu tersebut dikatakan Durasi Kekeringan. Jika nilai SPI dijumlahkan selama tenggang waktu durasi tersebut akan menggambarkan jumlah kekeringan, selanjut intensitas kekeringan dihitung berdasarkan jumlah  dibagi durasi kekeringan (Hayes,1999; Edward,1997; McKee,1993). 
Jadi, seri data hujan bulanan melalui SPI dapat menghasilkan seri data SPI baru. Jika durasi kekeringan sudah dihitung maka intensitas kekeringan SPI dapat ditentukan pula. Kekeringan titik bersifat unidimensi dalam skala ruang, dihitung berdasarkan deret indekskekeringan SPI di setiap pos hujan yang mewakili suatu radius tertentu. Gambar 1 menunjukkan pengertian dari durasi, jumlah dan intensitas kekeringan. Bagian yang berada di atas garis rata-rata SPI, disebut surplus/basah. Bagian yang berada di bawah garis rata-ratadisebut defisit.
Jumlah bagian yang mengalami defisit berkesinambungan disebut jumlah kekeringan. Lama atau durasi terjadi pada bagian defisit yang berkesinambungan dengan satuan bulan. Gambaran kekeringan dalam bentuk durasi, merupakan hasil akumulasi kekeringan  selama kurun waktu tertentu, musiman atau tahunan.

Gambar 1. Durasi dan jumlah defisit, menurut SPI-1, pos hujan Pagongan (36)





3.3 Kekeringan  Wilayah
Untuk seri hujan bulanan yang mengandung periodisitas, melalui proses transformasi yang bertujuan memperlemah periodisitas dihasilkan variabel baru seperti SPI menghilangkan periodisitas musiman Ditambah lagi, dengan adanya standarisasi maka bobot dan distribusi frekuensi dari setiap seri data menjadi sama karena mempunyai rata-rata nol dan simpangan baku satu, sehingga dengan demikian, dapat dilakukan analisa regionalisasi.
Metode yang digunakan untuk merata-rata SPI dalam cakupan DAS, WS maupun SWS adalah Poligon Thiessen. Jika faktor bobot yang diperoleh dari metode tersebut dikalikan dengan SPI di setiap pos maka diperoleh satu deret SPI untuk wilayah yang bersangkutan. Metode ini tidak diterapkan pada seri waktu SPI saja, melainkan durasi dan intensitas juga.





BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1  Informasi Kekeringan Secara Temporal
Dari indeks kekeringan, jumlah dan durasi kekeringan dapat dihitung jika seri indeks kekeringan (SPI) tersedia secara runtun dari bulan ke bulan, dengan demikian intensitas kekeringan dapat dengan mudah dihitung yaitu jumlah kekeringan dibagi durasi kekeringan. Indeks kekeringan tidak mempunyai satuan, durasi bersatuan bulan menjadikan intensitas mempunyai unit 1/bulan.  Jika nilai SPI menggambarkan kondisi kekeringan di bulan yang bersangkutan dengan berbagai skala waktu maka intensitas kekeringan menggambarkan karakter kekeringan selama durasi waktu yang bersangkutan dan kebanyakan mempunyai  nilai satu, dengan perkataan lain tingkat kekeringan yang dialami masuk dalam kelompok kekeringan ringan. Intensitas kekeringan lebih banyak memunculkan makna bila dihitung secara regional dengan batas DAS atau SWS dibandingkan dengan per pos hujan. Gambar 2 sampai dengan Gambar 5, menunjukkan secara grafis besar intensitas kekeringan dengan berbagai skala waktu sebagai contoh di SWS Pemali-Comal (mewakili seluruh wilayah studi).
Di SWS Pemali Comal dari tahun 1997-2010 intensitas kekeringan SPI-1 yang melebihi satu adalah di tahun 2010 sebanyak dua kali selama masing-masing satu bulan dengan peringkat -1 sampai -1.2 serta untuk SPI-6 terdapat di tahun 2006 dan 2007 dengan puncak di peringkat -1.2 sampai -1.4 (kering sedang) dan durasi 13 bulan melewati musim hujan, lihat Gambar 2 sampai dengan Gambar 5. Gambar 6 dan Gambar 7 menggambarkan secara grafis kondisi kekeringan di kedua waduk yang ada dalam wilayah studi yaitu Waduk Penjalin dan Waduk Cacaban.



Gambar 2. Intensitas kekeringan (SPI-1 dan SPI-3) di SWS Pemali-Comal dari tahun 1997-2010.

Gambar 3. Durasi  Kekeringan (SPI-1 dan SPI-3) di SWS Pemali-Comal tahun 1997-2010

Gambar 4. Intensitas kekeringan (SPI-6, SPI-9  dan SPI-12) di SWS Pemali-Comal dari tahun 1997-2010

Gambar 5. Durasi  Kekeringan (SPI-6; SPI-9 dan SPI-12) di SWS Pemali-Comal tahun 1997-2010



Gambar 6. Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Penjalin dari tahun 1997-2010 (SPI-1dan SPI-3) (a dan b); Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Penjalin dari tahun 1997-2010 (SPI-6; SPI-9 dan SPI-12) (c dan d)


Gambar 7. Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Cacaban dari tahun 1997-2010 (SPI-1dan SPI-3) (a dan b); Intensitas dan durasi kekeringan di Waduk Cacaban dari tahun 1997-2010 (SPI-6; SPI-9 dan SPI-12) (c dan d)


4.2  Informasi Kekeringan Secara Spasial
Peta kekeringan merupakan salah satu bentuk dari informasi kekeringan yang menggambarkan kondisi/sebaran kekeringan secara spasial. Peta kekeringan merupakan interpretasi dari nilai indeks kekeringan (SPI) yang mempunyai peringkat dari biasa  sampai yang ekstrim yang di dalam peta dinyatakan dengan bentuk gradasi warna.  Sebagai contoh peta kekeringan tahun 2010 dengan menggunakan SPI-3 dan SPI-12 dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.  Tahun 2010 menggambarkan tahun terakhir dari data yang dapat dikumpulkan mengindikasikan kekeringan yang melanda tidak merata seperti tahun 1997, terkonsentrasi diujung tenggara dan timur laut. Peta kekeringan tersebut tidak dapat memberikan informasi secara tepat awal dan akhir serta besarnya kekeringan selama periode kejadian. 
Peta kekeringan skala waktu 12 bulanan di tahun 2010 (Gambar 8) merupakan salah satu contoh bagaimana jika simpanan air selama 12 bulan ke belakang diperhitungkan maka hasilnya akan sangat berbeda dengan jika 3 bulan ke belakang yang diperhitungkan. Bulan Januari-Desember 2010 dengan skala waktu 3 bulanan (Gambar 9) cukup basah, bagian basah mengecil terus sampai bulan Juli 2010. Kenyataan ini berubah total jika 12 bulanan yang diperhitungkan jumlah simpanan air di tahun 2009 hanya sedikit sehingga kekeringan 12 bulanan di bulan Januari menjadi signifikan kering yang terus mengecil liputannya sampai bulan Juni 2010 mulai mengisi lagi di bulan Agustus sampai Desember 2010. 

Gambar 8. Peta Kekeringan 2010 Menggunakan SPI-12





Gambar 9. Peta Kekeringan 2010 Menggunakan SPI-3
Gambar 10 dan gambar 11 merupakan peta kekeringan yang menggambarkan sebaran kekeringan dari bulan Januari hingga Desember 2011 dan Januari-Februari 2012. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah Pemali Comal mengalami kondisi kering dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering. namun, di beberapa lokasi mengalami kondisi cukup basah hingga sangat basah.
Gambar 10. Peta Kekeringan bulan Januari s/d Desember Tahun 2011 Menggunakan SPI-3
Gambar 11. Peta Kekeringan bulan Januari - Februari Tahun 2012 Menggunakan SPI-3





   
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisa informasi kekeringan spasial dan temporal, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Informasi ini diharapkan dapat memberi ide dalam menangani dampak negatif kekeringan berbasis manajemen bencana dengan menggunakan perangkat lunak (model  Standardized Precipitation Index  atau  SPI) dan perangkat keras (peralatan telemetri) yang dihasilkan melalui kegiatan monitoring tingkat keparahan kekeringan dari waktu ke waktu yang dilengkapi dengan peta kekeringan.
2.      Peta kekeringan periode Januari hingga Juni 2011 menggambarkan sebaran kondisi kekeringan yang cukup merata dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering hingga sangat kering. Puncak kondisi kering terjadi di sebagian wilayah Pemalang. Namun, di sebagian wilayah Pekalongan dan Batang mengalami kondisi basah.
3.      Peta kekeringan periode Juli hingga Desember 2011 menggambarkan sebaran kondisi kekeringan yang  merata di hampir seluruh wilayah Pemali Comal dengan tingkat keparahan kekeringan cukup kering.

5.2 Saran
Semoga informasi kekeringan secara temporan dan spasial  ini dapat menjadi sumber informasi bagi Pemerintah, para praktisi, peneliti, serta pihak-pihak terkait lainnya, sehingga antisipasi dampak negatif dari keparahan kekeringan dapat dilakukan sedini mungkin.





DAFTAR PUSTAKA

Adidarma, Wanny, Lanny Martawati, dan Adelia Untari. 2009.  Apakah Trend Hujan di Musim Kemarau yang Berkurang Akan Menimbulkan Intensitas Kekeringan yang Bertambah Parah ?. Forum Group Discussion “Identifikasi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Sumberdaya Air dari Program: Penguatan IPTEK Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim”. Kementerian Negara Riset dan Teknologi diselenggarakan di  Balai Irigasi. Pusat Litbang Sumber Daya Air. Bekasi.
 Bokal, Sabina. 2011.  Standardized Precipitation Index tool for  drought monitoring-Examples from Slovenia. Drought Management Centre for Southeastern Europe (http://www.wamis.org/agm/meetings/slovenia10/S3-Bokal-SPI.pdf, diunduh 16 November 2012).
Edward, D.C. and T. B. MCKee. 1997. Characteristics of 20th century drought in the United States at multiple time scales. Climatology Report Number 97-2, Colorado States University. Fort Collins. Colorado.  
Hayes, M. J. 1999a.  Drought Indices. National Drought Mitigation Centre. (http://www.wrcc.dri.edu/spi/explanation.htm, diakses 16 November 2012)
 Hayes, M. J. et al., 1999b. Monitoring the 1996 Drought Using the Standardized Precipitation Index. Bulletin of the American Meteorological Society. Vol.80, No.3, March 1999.
 Mc.Kee, T.B., Doesken, N.J., and Kleist, J. 1993. The Relationship of Drought Frequency and Duration to Time Scales. Eighth Conference on Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California, USA, page 179-184.
 Szalai, S. et al. 2000. Drought Monitoring in Hungary, In WMO (WMO/TD No.1037). Early Warning Systems for Drought Preparedness and Drought Management, Proceeding of an Experts Group Meeting held September 5-7, 2000 in Lisbon, Portugal, page 182.
Sharma, Aditi, V.K. Dadhwal, C. Jeganathan, and V. Tolpekin. 2005.  Drought Monitoring using Standardized Precipitation Index:  A case study for the state of Katamaka. India. (http://www.gisdevelopment.net/application/natural_hazards/drought/,diunduh 16 November 2012).

Wilhite D.A., and D.S. Mark. 2000. Drought Early Warning System in the Context of Drought Preparedness and Mitigation, In WMO (WMO/TD No.1037). Early Warning Systems for Drought Preparedness and Drought Management, Proceeding of an Experts Group Meeting held September 5-7,2000 in Lisbon, Portugal.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar